Penahanan tersangka mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Buleleng, Dewa Ketut Puspaka (DKP) dalam kasus dugaan gratifikasi sudah diperpanjang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar. Hal itu dibenarkan oleh Humas, Gede Putra Astawa belum lama ini. Sedangkan jaksa penerima berkas pelimpahan tahap II, yakni pelimpahan berkas dan barang bukti hingga saat ini sedang melengkapi proses administrasi.
Dewa Ketut Puspaka ditetapkan kejaksaan sebagai tersangka dugaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Rp16 miliar per 16 Juli 2021, namun statusnya baru diumumkan oleh pelaksana tugas (Plt.) Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali, Hutama Wisnu, dalam jumpa pers 22 Juli 2021. DKP diduga menerima gratifikasi dalam sejumlah pembangunan, diantaranya pembangunan Bandara Bali Utara di Buleleng tahun 2018. Gratifikasi sebesar Rp2,5 miliar diduga diterima dari beberapa orang dalam upaya percepatan izin pembangunan bendara di pusat. Adapun pemberian uang gratifikasi dilakukan tiga tahap selama periode 2018-2019. Selain itu juga gratifikasi diduga diterima dari pengurusan izin pembangunan Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di Desa Celukan Bawang. Gratifikasi sebesar Rp13 miliar diberikan oleh perusahaan dan perorangan untuk penerbitan izin.
Babak baru dalam kasus DKP muncul ketika ia menolak menandatangani penyitaan sejumlah asetnya yaitu tanah dan bangunan milik Umi Bilqis, tanah dan bangunan milik Dewa Ketut Puspaka, tanah milik I Dewa Gede Rhadea Prana Prabawa. Alasannya, menurut DKP dalam penyitaan oleh Kajati Bali itu terdapat beberapa kejanggalan, diantaranya penetapan sita dari Pengadilan Negeri (PN) yang baru dikeluarkan setelah penyidik kejaksaan menyatakan berkas lengkap atau valid P-21. Selain itu Tim JPU melakukan penyitaan atas dasar penetapan PN Denpasar, sementara empat aset yang disita berlokasi di Desa Baktisegara dan harus berdasarkan penetapan PN Singaraja.
Sementara itu, Kasi Penkum Kajati Bali, Luga Harlianto membantah penyitaan yang disebut menyalahi aturan. Menurut Luga, pengajuan penyitaan sudah dilakukan sebelum P-21, tetapi baru dilakukan setelah P-21 dan itu sah. Kemudian terkait penetapan penyitaan PN Denpasar dan bukan PN Singaraja, menurut Luga, jika dalam tipikor, pengadilan tingkat pertama yaitu PN Denpasar. “Jadi, semua sudah sesuai aturan, tidak ada yang dilanggar,” tandasnya.
Sumber Berita:
Bali Post. Kasus Dugaan Gratifikasi DKP Segera Dilimpahkan ke Tipikor. 29 November 2021.
Bali Post. Kasus Mantan Sekda Buleleng Belum Masuk Tipikor. 14 Desember 2021.
Nusa Bali. Mantan Sekda Buleleng Tolak Asetnya Disita Kejaksaan. 15 Desember 2021.
Catatan Berita:
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1):
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3 ayat (1):
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12 B ayat (1)
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 2 ayat (1):
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi;
Pasal 3:
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
- Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
P-21 merupakan kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana sebagai pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. Artinya, perkara dinyatakan siap untuk dilimpahkan ke Kejaksaan.