BPK Sebut Pendanaan Aksi Iklim Harus Dapat Diukur dan Dilacak

Jakarta – Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Fathan Subchi mengatakan pendanaan untuk aksi iklim harus diterjemahkan menjadi aksi efektif yang dapat diukur dan dilacak. “Kinerja inisiatif iklim yang didanai oleh keuangan publik harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur. (Kami) berharap upaya ini dapat meningkatkan kepercayaan investor dan memperkuat komitmen Indonesia dalam mengatasi krisis iklim,” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi, Jakarta, Selasa.

Dalam kesempatan tersebut, pihaknya mendorong pemerintah Indonesia meningkatkan upaya pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ia menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia dalam hal pendanaan iklim, terutama di sektor kehutanan dan tata guna lahan.

Salah satu kendala utama adalah kesulitan dalam menghubungkan perubahan kebijakan dengan penurunan deforestasi secara signifikan. Selain itu, hambatan lainnya terkait ketergantungan yang tinggi terhadap pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Untuk mengatasi persoalan tersebut, BPK telah merekomendasikan beberapa langkah strategis. Pertama, kementerian terkait disebut perlu menetapkan standar yang jelas untuk mengukur dan mengevaluasi deforestasi terencana dan tidak terencana. Kedua, entitas pemerintah harus mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai sumber pembiayaan dari anggaran maupun non-anggaran untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi iklim.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas pendanaan mengatasi perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan, dia menekankan urgensi pendekatan lintas sektoral yang mengintegrasikan berbagai bidang sektoral dan tematik, serta langkah-langkah audit dan non-audit agar mampu menghadapi tantangan akibat perubahan iklim.

“BPK sendiri memiliki kemampuan yang baik dalam menilai kegiatan yang terkait dengan pendanaan negara di sektor perubahan iklim. BPK telah melakukan berbagai pemeriksaan terhadap kinerja anggaran, termasuk untuk upaya mitigasi dan adaptasi iklim, pengelolaan sampah kota, pencegahan banjir, dan rehabilitasi pasca tambang di seluruh provinsi dan kotamadya di Indonesia,” ungkap Fathan.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan negara-negara berkembang membutuhkan pendanaan iklim yang tidak membebani perekonomian, termasuk dalam skema pembiayaan yang disepakati di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29).

Bhima Yudhistira menyebut mekanisme pembiayaan iklim New Collective Quantified Goal (NCQG) senilai 300 miliar dolar AS (sekitar Rp4,7 triliun) per tahun untuk negara berkembang yang disepakati dalam COP29 Azerbaijan, sebaiknya diadopsi Indonesia untuk membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif dibandingkan dengan yang disepakati dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).

Pasalnya, lanjut dia, pembiayaan melalui JETP lebih banyak berupa utang, yang dikhawatirkan justru menjadi beban fiskal Indonesia. Menurutnya, skema pembiayaan yang lebih progresif sangat krusial agar upaya mitigasi krisis iklim tidak membebani perekonomian negara berkembang, seperti Indonesia. “Pemanfaatan dana publik dari negara maju berbentuk hibah yang lebih besar dan opsi penghapusan utang penting untuk memberikan ruang fiskal bagi percepatan transisi energi,” kata Bhima.

Ia mencontohkan NCQG dapat digunakan untuk proyek penutupan PLTU yang terhambat APBN. Selain itu pembiayaan NCQG berupa hibah juga dapat digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikro hidro, dan angin, transmisi, serta baterai penyimpanan.

Di sisi lain, Thomas Houlie selaku Climate and Energy Policy Analyst dari Climate Analytics menyebut pembiayaan iklim yang disepakati pada COP29 sebesar 300 miliar dolar AS per tahun juga lebih rendah dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Mengacu kepada draf NCQG, pembiayaan yang dibutuhkan negara berkembang dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) mereka mencapai 5-6,8 triliun dolar AS hingga 2030.

Sumber : NERACA