Kadiskes Badung Ketir-Ketir

Mark Up Tong Sampang

BADUNG – Pemerintahan Badung yang bergelimang uang dan kantor baru yang mentereng juga, ternyata banyak penyimpangan versi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari banyak temuan itu, Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Badung AA Gde Mayun Darmaatmaja akan disodok dengan masalah sepele; tong sampah.

Yang membuat BPK terperangah adalah harga satu tong sampah hingga Rp 420 ribu per buah. Harga ini tidak lazim. Dari hasil survei di dagang tong sampah, untuk tempat sampah plastik kecil hanya Rp 15 ribu saja. Dan untuk tong sampah kecil yang terbuat dari seng hanya Rp 25 ribu. Artinya terdapat kesenjangan harga dari harga normal.

Kasus pembelian tong sampah untuk Kantor Dinas Kesehatan Badung ini pun langsung dilirik oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar yang melihat adanya pengemplangan dana.

Kadiskes Badung AA Gde Mayun Darmaatmaja yang dihubungi terpisah menyatakan hal tersebut terjadi karena terdapat beda pemahaman antara kejaksaan dengan Diskes Badung. ”Masalah itu mungkin kami ada beda persepsi saja dengan Kejari, dan itu kan masih ditelusuri oleh mereka,” ujar Mayun mencoba tenang.

Mengenai pembelian tong sampah yang tidak lazim tersebut, Mayun mencoba mengecek ke stafnya. ”Kami akan cek dulu anak buah dan kami akan tanya dulu kenapa bisa demikian,” ujarnya.

Mengenai kasus ini Diskes juga melakukan kajian mengenai apa saja yang dianggap melanggar dan menyimpang menurut laporan BPK tersebut. ”Kami sedang rembuk internal mengenai kasus ini. Kami kumpulkan anak buah agar bekerja jujur dan sesuai dengan aturan,” ujarnya.

Sementara Senin kemarin di DPRD Bali berlangsung rapat terkait temuan BPK tersebut. Hampir semua SKPD menyodorkan alasan kenapa rapor di bidang anggaran banyak merahnya.

Dalam pertemuan itu, dewan sendiri lebih banyak menjadi pendengar saja. Dan, rencananya semua alasan tersebut bakal dirangkum untuk dijadikan bahan klarifikasi saat pertemuan bersama BPK. Sedianya, pertemuan tersebut bakal dilakukan pada hari ini. Namun dari BPK sendiri saat ini sedang banyak kesibukan. Sehingga pertemuan positif digelar pada 17 Juli mendatang.

”Rencananya sih besok (hari ini,Red). Tapi, karena BPK banyak kesibukan, pertemuan itu dijadwal ulang menjadi tanggal 17 Juli. Nah, tadi semua SKPD kami minta klarifikasinya soal temuan-temuan BPK itu. Untuk dijadikan jawaban saat pertemuan nanti,” terang Wakil Ketua DPRD Bali Ida Bagus Suryatmaja usai pertemuan.

Alasan semua SKPD apa bisa diterima? Untuk pertanyaan ini, Suryatmaja mengaku tidak bisa membenarkan atau menyalahkan seluruh alasan yang dijelaskan masing-masing SKPD. “Yang tahu benar atau salah, ya BPK sendiri. Kami hanya menyiapkan apa jawaban yang perlu disampaikan kepada BPK nanti,” tegas politisi PDIP ini.

Lebih rinci lagi dia membeberkan beberapa temuan yang menjadi pembicaraan dalam pertemuan yang dipimpinnya itu. Seperti penyertaan modal RPH di Temesi. Saat pembangunan RPH tersebut dilakukan, payung hukumnya belum ada. Dalam kondisi belum ada payung hukum juga, pengelolaan RPH tersebut diserahkan begitu saja kepada Perusda. Dengan biaya pengelolaan bersumber dari APBD. Karena diserahkan ke pihak ketiga, penyertaan modal tersebut dinilai berpotensi menimbulkan kerugian daerah karena kontribusinya tertunda. Di sisi lain, aset sudah dikuasi pihak ketiga.

“BPK menganggap itu (dana pengelolaan,Red) sebagai kehilangan. Karena dana pengelolaannya sudah dianggarkan dalam APBD. Sementara payung hukumnya belum ada,” jelasnya.

Kemudian kejelasan pengelolaan aset yang ada di enam lokasi. Dia mengatakan ada perbedaan pendapat soal pengelolaan aset tersebut. BPK sendiri berkeinginan agar ada kejelasan menyangkut lokasi, sertifikat, serta nilai aset itu sendiri. Begitu juga dengan masalah dana pendamping CBD yang disalurkan ke kabupaten/kota. Semestinya, rekening masing-masing kabupaten/kota dijadikan satu. “Tapi kenyataannya sampai sekarang masih pisah,” ujarnya.

Kemudian kasus korupsi Pajak ABT yang nilainya sekitar Rp 900 juta dan kini sudah diproses di kepolisian. Berikutnya, masalah saham yang ada di BPD sebesar 49,5 persen serta di RS Puri Raharja sebesar 54 persen yang belum jelas pembagian devidennya. “Dan temuan-temuan lainnya selama tahun anggaran 2007 dan 2008. Agar dituntaskan dan tidak lewat dari 2009 ini,” pungkasnya. (dra/hai)

(Radar Bali)